MDGS GAMBARAN UMUM PANGAN DUNIA 2025



Terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi sebab mengapa masalah ketahanan pangan perlu diperbincangkan. Pertama, bahwa pangan adalah hak azasi manusia yang didasarkan atas 4 (empat) hal berikut:
1.        Universal Declaration of Human Right (1948) dan  The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966) yang menyebutkan bahwa “everyone should have an adequate standard of living, including adequate food, cloothing, and housing and that the fundamental right to freedom from hunger and malnutrition”.
2.        Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996 yang ditanda tangani oleh 112 kepala negara atau penjabat tinggi dari 186 negara peserta, dimana Indonesia menjadi salah satu di antara penandatangannya. Isinya  adalah pemberian tekanan pada human right to adequate food (hak atas pemenuhan kebutuhan pangan secara cukup), dan perlunya aksi bersama antar negara untuk mengurangi kelaparan.
3.        Millenium Development Goals (MDGs) menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara teramsuk Indonesia menyepakati menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuhnya.
4.        Hari Pangan Sedunia tahun 2007  menekankan pentingnya pemenuhan Hak Atas Pangan.
Kedua, kondisi obyektif Indonesia masih berkutat pada masalah gizi. Masalah gizi tersebut berakar pada masalah ketersediaan, distribusi, keterjangkauan pangan, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan serta perilaku masyarakat. Dengan demikian masalah pangan dan gizi merupakan permasalahan berbagai sektor dan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang besar dan tersebar dalam bebagai wilayah memerlukan penanganan ketahanan pangan yang terpadu. Penanganan ketahanan pangan dimaksud memerlukan perencanaan lintas sektor dan dengan  sasaran serta tahapan yang jelas dan terukur dalam jangka menengah maupun panjang.
Ketiga, perubahan kondisi global yang menuntut kemandirian. Perubahan dimaksud tercermin dari: harga pangan internasional yang mengalami lonjakan drastis dan tidak menentu, adanya kecenderungan negara-negara yang bersikap egois; mementingkan kebutuhannya sendiri, adanya kompetisi penggunaan komoditas pertanian (pangan vs pakan vs energi), terjadinya resesi ekonomi global, dan adanya serbuan pangan asing (“westernisasi diet”). Perubahan kondisi global tersebut sangat berpotensi menjadi penyebab gizi lebih dan meningkatkan ketergantungan pada impor.
Memperbincangkan masalah pangan tidak dapat dipisahkan dari masalah harga pangan sebagai salah satu aspek yang mencerminkan ketersediaan atau produksi pangan sekaligus permintaan atau konsumsi pangan. Perkembangan harga beberapa komoditas pangan dunia, yaitu: jagung, gandum dan beras, mulai bulan Januari 2003 sampai dengan bulan Juli 2008 ditunjukkan melalui gambar 1.
 








 Gambar 1.   Perkembangan Harga Pangan Dunia
(As of September 2008)
Source: Data from FAO 2008 and IMF 2008.

Berdasarkan gambar 1, tingkat harga pangan yang terdiri dari: jagung, gandum dan beras memiliki kecenderungan yang semakin meningkat. Peningkatan harga pangan tersebut cukup drastis pada bulan Juli 2008. Di antara harga bahan pangan, harga beras umumnya lebih tinggi (lebih mahal) dibandingkan dua bahan pangan lainnya. Bahkan kenaikan harga beras pada bulan Juli 2008 melebihi kenaikan harga minyak. Hal ini mengindikasikan adanya ketergantungan dunia terhadap beras yang semakin besar: peningkatan konsumsi beras yang relatif lebih tinggi dibandingkan ketersediaannya.
Peningkatan harga bahan pangan tidak hanya mengindikasikan ketergantungan terhadap beras yang semakin besar tetapi lebih lanjut juga mencerminkan kenaikan tingkat konsumsi pangan yang melebihi ketersediaannya. Secara umum, dalam dua dasa warsa terakhir, rasio atau perbandingan cadangan pangan dunia terhadap penggunaan atau konsumsi pangan dunia semakin menurun. Perkembangan rasio tersebut ditunjukkan melalui gambar 2.

Gambar 2. Stok Pangan Dunia Menurun

Source: United Nations World Food Programme,2008

Gambar 2 menunjukkan bahwa rasio stok terhadap konsumsi pangan dunia mendekati 15% pada tahun 2008/2009 dari di atas 35% pada tahun 1986/1987. Pada periode tersebut, cadangan pangan dunia semakin menurun atau (dengan kata lain) jumlah penduduk dunia yang dijamin pangannya semakin sedikit. Penurunan rasio tersebut disebabkan tidak adanya kenaikan dalam produksi pangan sementara jumlah penduduk dunia selalu bertambah dari tahun ke tahun. Jumlah produksi pangan dunia yang terdiri dari: gandum, beras dan butiran lainnya sejak 1999 sampai dengan 2007 ditunjukkan dalam gambar 3. 



 











Gambar 3. Produksi Pangan Dunia Tidak Meningkat
Source:  Data from FAO 2003, 2005-07.

Gambar 3 menunjukkan bahwa jumlah produksi gandum, beras dan butiran lainnya hampir tidak meningkat sepanjang 1999 sampai dengan 2007. Pada periode tersebut, produksi beras tidak meningkat dan produksi gandum meningkat hanya sedikit. Komoditas yang mengalami peningkatan dalam jumlah produksi adalah butiran lainnya. Hal ini berarti bahwa cadangan pangan dunia lebih banyak disokong dari produksi butiran dibandingkan dengan gandum dan beras. Lebih lanjut, penduduk dunia yang dijamin oleh cadangan pangan (dalam jumlah kecil) adalah mereka yang bergantung pada butiran sebagai makanan pokok. Sedangkan mereka yang bergantung pada gandum dan beras sebagai makanan pokok tidak dijamin oleh cadangan. Cadangan atau stok pangan dunia diperkirakan berupa komodidas selain gandum dan beras.
Minimnya cadangan pangan dunia berpotensi menyebabkan krisis pangan di beberapa kawasan. Negara-negara yang berisiko mengalami krisis pangan ditunjukkan dalam gambar 4 sebagaimana yang telah disinyalir oleh Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 2008.

 
Gambar 4. Negara Berisiko Terkena Krisis Pangan Dunia
Source: United Nations World Food Programme,2008.

Negara-negara yang berisiko tinggi mengalami krisis pangan sebagian besar berada kawasan di Asia Selatan dan beberapa negara di Asia Timur serta satu negara di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Kawasan tersebut juga menjadi tempat negara-negara berisiko sedang mengalami krisis pangan. Selain itu, kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) juga berisiko mengalami krisis pangan sedang. 
Secara lebih jelas, ketersediaan atau produksi pangan dan permintaan atau konsumsi pangan, dapat disampaikan bahwa kondisi pangan dunia diperkirakan akan mengalami ketidak seimbangan pada waktu-waktu mendatang. Ketidak seimbangan tersebut dikarenakan jumlah permintaan akan pangan yang melebihi jumlah produksinya. Perkiraan neraca pangan dunia tahun 2025 ditunjukkan dalam tabel 1.

Tabel 1. Perkiraan Neraca Pangan Dunia 2025
Region
Population 2025
Consumption/ Capita
Demand 2025
Production 2025
Balance 2025
South Asia
2021
237
549.7
524.6
-25.1
East and Southeast Asia
2387
338
1040.9
914.0
-126.9
Latin America
690
265
217.9
171.2
-46.7
Europe
799
634
506.5
619.4
112.9
North America
410
780
319.5
558.2
238.7
World
8039
363
3046.5
2977.7
-68.8

Berdasarkan perkiraan neraca pangan dunia 2025, diperkirakan akan terjadi ketidak seimbangan (krisis) pangan dunia dimana jumlah permintaan atau konsumsi pangan melebihi jumlah ketersediaan atau produksi pangan. Surplus pangan dan minus pangan yang terjadi di beberapa daerah akan menyebabkan terjadinya aliran pangan dari negara-negara surplus pangan di Eropa dan Amerika Utara ke arah negara-negara minus pangan di Asia Selatan, Asia Timur dan Asia tenggara, serta Amerika Latin. Perkiraan krisis pangan tersebut menyebabkan beberapa negara mengambil tindakan kebijakan untuk melindungi produksi serta menjamin ketersediaan pangan di dalam negeri.
Beberapa kebijakan yang ditempuh beberapa negara terkait dengan perlindungan terhadap produksi dalam negeri dan jaminan ketersediaan pangan, antara lain: restriksi perdagangan, liberalisasi perdagangan, subsidi konsumen, perlindungan sosial dan kebijakan peningkatan produksi atau penawaran. Berbagai kebijakan perlindungan pangan yang ditempuh beberapa negara adalah sebagaimana yang ditunjukkan tabel 2.




Tabel 2. Kebijakan Perlindungan Pangan yang Ditempuh Beberapa Negara
Region
Trade Restriction
Trade Liberaliz
Consumer Subsidy
Social Protection
Increase Supply
Asia
Bangladesh
X

X
X
X
China
X
X
X

X
India
X
X
X
X
X
Indonesia
X
X
X
X

Malaysia
X

X

X
Thailand
X

X

X
Latin America
Argentina
X
X
X

X
Brazil
X
X


X
Mexico

X
X

X
Peru

X
X
X

Venezuela

X
X
X
X
Africa
Egypt
X

X
X
X
Ethiopia
X

X
X
X
Ghana

X


X
Kenya




X
Nigeria

X
X

X
Tanzania
X
X
X


Source: IMF, FAO, and news reports, 2007-08.

Tabel 2 menunjukkan bahwa kebijakan subsidi konsumen dan peningkatan produksi merupakan kebijakan yang paling populer dilaksanakan. Nampaknya, harga jual pangan yang cukup tinggi diharapkan menjadi daya tarik bari petani untuk memproduksi pangan dalam jumlah yang lebih banyak. Pada sisi lain, subsidi konsumen ditujukan untuk mengurangi beban konsumen karena harga pangan yang tinggi. Dua kebijakan yang dilaksanakan secara serentak tersebut, didukung dengan kebijakan restriksi perdagangan dan perlindungan sosial diperkirakan dapat memacu pertumbuhan produksi pangan di dalam negeri lebih tinggi. Namun demikian, kebijakan liberalisasi perdagangan yang diupayakan oleh negara-negara yang memiliki proses produksi pangan efisien dapat menjadi kemandirian pangan di negara-negara dengan proses produksi tidak efisien. Efisiensi berarti harga jual produk lebih rendah yang menyebabkan petani-petani dengan proses produksi tidak efisien enggan berproduksi karena outputnya tidak laku di pasar (internasional).
Khusus Indonesia, produksi bahan pangan yang terdiri dari: padi, jagung dan ubi kayu meningkat selama 2003 sampai dengan 2008. Pertumbuhan rata-rata komoditas tersebut masing-masing 0,47%; 1,12% dan 0,39% per tahun selama periode tersebut. Akan tetapi, untuk bahan pangan ubi jalar mengalami penurunan selama periode yang sama. Perkembangan produksi pangan tersebut beserta produksi bahan nabati lainnya ditunjukkan dalam gambar 5.
 

 Gambar 5. Produksi Pangan Nabati Indonesia




Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Produksi ubi jalar mengalami penurunan (pertumbuhan negatif) rata-rata 0,14% per tahun selama 2003 sampai dengan 2008. Berbeda dengan ubi jalar, produk pangan nabati lainnya, yaitu: kedelai, kacang tanah, sayur, buah-buahan, minyak sawit dan gula putih mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata 0,44% sampai 3,78% per tahun dalam periode tersebut. Begitu juga produk pangan hewani, yaitu: daging sapi dan kerbau, daging ayam, telur, susu dan ikan, produksinya meningkat antara 0,68% sampai 4,04% per tahun sepanjang 2003 sampai dengan 2008.
 


 Gambar 6. Produksi Pangan Hewani Indonesia





Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Berdasarkan produksi nabati dan hewani sebagaimana diutarakan di atas, Indonesia memiliki ketersediaan pangan yang semakin banyak dari tahun ke tahun. Namun demikian, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (http://demografi.bps.go.id) laju pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata 1,49% per tahun selama 1990 sampai dengan 2000 dan rata-rata 1,31% per tahun selama 2000 sampai dengan 2005. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2005 sebesar 218.868.791 Jiwa dan diperkirakan menjadi 227.516.121 Jiwa pada tahun 2008. Dengan jumlah produksi padi 54.151.000 Ton di tahun 2005, maka rasio antara jumlah produksi padi terhadap jumlah penduduk pada tahun 2005 adalah 247,4 Kg/Kapita/Tahun atau 0,7 Kg/Kapita/Hari. Pada tahun 2008, dengan jumlah produksi padi sebesar 59.877.000 Ton maka rasio tersebut menjadi 263,2 Kg/Kapita/Tahun atau 0,7 Kg/Kapita/Hari. Perhitungan ini menjukkan bahwa sebenarnya ketersediaan beras di Indonesia sampai dengan 2008 masih memadai. Namun demikian, oleh karena semakin banyaknya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan-lahan lain (perumahan, bisnis, dan lain-lain) menyebabkan rasio tersebut menjadi terganggu.
Gambar 7. Ketergantungan Impor Pangan di IndonesiaTerganggunya rasio antara jumlah produksi padi terhadap jumlah penduduk sebagaimana diutarakan di atas menyebabkan, pada tahun-tahun terakhir, Indonesia tergantung pada impor. Bahan pangan yang di impor Indonesia, yaitu: beras, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, sayur, buah-buahan, minyak goreng, gula, daging sapi dan daging kerbau, daging ayam, telur, susu dan ikan, selama tahun 2003 sampai dengan 2007 ditunjukkan pada gambar 7.  


 Gambar 7. Ketergantungan Impor Pangan di Indonesia















Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Berdasarkan gambar 7, impor kedelai merupakan bagian terbesar dari ketersediaan kedelai di dalam negeri. Pada tahun 2007, sebesar 70,6% kebutuhan kedelai dipenuhi dari impor, sebagian kecil sisanya, yaitu: 29,4% berasal dari produksi dalam negeri. Hal ini menunjukkan ketergantungan Indonesia yang sangat besar terhadap impor kedelai. Selain kedelai, susu juga merupakan produk yang banyak dipenuhi dari pasar internasional. Impor susu pada tahun 2007 merupakan 66,7% dari kebutuhan susu. Persentase ini menurun dibandingkan dengan yang terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 93,89%.
Komoditas ubi kayu, ubi jalar, buah-buahan, minyak goreng, daging ayam dan telur, seluruhnya atau hampir seluruhnya dipenuhi dari produksi dalam negeri. Untuk bahan makanan pokok masyarakat, yaitu: beras dan jagung, besarnya persentase impor masih relatif kecil, yakni masing-masing 4,12% dan 5,52% pada tahun 2007. Sebagian besar, yaitu masing-masing 95,88% dan 94,48% kebutuhan masyarakat akan beras dan jagung dipenuhi dari produksi dalam negeri. 
Berdasarkan data impor beras dan umbi-umbian, dapat diketahui bahwa upaya untuk meminimumkan atau menghilang ketergantungan terhadap impor beras dapat dilakukan melalui diversifikasi pangan dari beras ke ubi kayu dan ubi jalar. Mengingat bahwa sebagian masyarakat Indonesia sudah mengenal bahkan terbiasa dengan makan ubi kayu dan ubi jalar, maka diversifikasi tersebut diharapkan tidak mengalami hambatan yang berarti.


 









Gambar 7. Ketersediaan Pangan per Kapita
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Terjadinya diversifikasi pangan dari beras ke bahan pangan lain tercermin dari perubahan pola konsumsi penduduk atas berbagai jenis bahan pangan. Secara umum, penurunan jumlah konsumsi beras di satu sisi dan kenaikan konsumsi bahan pangan lainnya di sisi lain menunjukkan adanya diversifikasi pangan yang tengah berlangsung. Jumlah konsumsi beras, jagung dan terigu selama tahun 1993 sampai dengan 2007 ditunjukkan pada gambar 8. 


 














Gambar 8. Perkembangan Konsumsi Komoditas Pangan
Kelompok Padi-padian Penduduk Indonesia 1993-2007

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Berdasarkan gambar 8, selama tahun 1993 sampai dengan 2007, konsumsi penduduk terhadap beras mengalami penurunan. Namun demikian, penurunan dimaksud tidak dibarengi dengan kenaikan konsumsi jagung dan terigu. Hal ini berarti bahwa diversifikasi pangan dari beras ke jagung dan terigu masih belum terjadi. Agak berbeda dengan konsumsi penduduk terhadap produk pangan nabati, konsumsi penduduk terhadap produk pangan hewani sebagian mengalami peningkatan, khususnya untuk produk ikan, telur dan yang paling banyak terjadi kenaikan adalah konsumsi terhadap susu. Perkembangan konsumsi pangan hewani penduduk tahun 1993 sampai dengan 2007 ditunjukkan dalam gambar 8.


 













Gambar 8.  Perkembangan Konsumsi Pangan Hewani
Penduduk Indonesia 1993-2007

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Berdasarkan gambar 8, dimana konsumsi pangan hewani penduduk


 




















Gambar 9.  Pola Pangan Harapan

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.


Gambar 10.  Keamanan Pangan

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.



Gambar 10.  Status Gizi Masyarakat

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
















ISU STRATEGIS KETAHANAN PANGAN

1.        Pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian
a.        Kapasitas produksi domestik, (a) laju peningkatan produksi pangan cenderung melandai dengan rata-rata pertumbuhan  kurang satu persen  sedangkan pertambahan penduduk sebesar 1,2% setiap tahun (b) belum berkembangnya   kapasitas produksi pangan  daerah dengan teknlogi sesifik lokasi karena hambatan inrastruktur pertanian ; (c) petani umumnya skala kecil (kurang dari 0,5 hektar)  yang berjumlah 13,7 juta KK  menyebabkan aksesibilitasnya  terbatas  terhadap  sumber permodalan, teknologi,  sarana produksi dan pasar  (d) banyak dijumpai kasus   terhambatnya  distribusi sarana produks khususnya pupuk bersubsidi, (e) lambatnya penerapan teknologi akibat kurang  insentif ekonomi  dan masalah sosial petani
b.        Kelestarian sumberdaya lahan dan air Saat  ini  tingkat alih fungsí lahan pertanian ke non pertanian (perumahan, perkantoran dll)  di  Indonesia  diperkirakan 106.000 ha/5 th . Kondisi sumber air di  Indonesia  cukup memperihatinkan, daerah tangkapan air  yakni daerah aliran sungai (DAS) kondisi lahannya sangat kritis akibat pembukaaan hutan yang tidak terkendali. Defisit air di Jawa sudah terjadi sejak tahun 1995 dan terus bertambah hingga tahun 2000 telah mencapai 52,8 milyar m3  per tahun. Sejak 10 tahun terakhir terjadi banjir dengan erosi hebat dan ancaman tanah longsor pada musim hujan bergantian dengan kekeringan hebat pada musim kemarau. Bila laju degradasi terus berjalan maka tahun 2015 diperkirakan defisit air di Jawa akan mencapai 14,1 miliar m³ per tahun.
c.        Cadangan pangan. Adanya kondisi iklim yang tidak menentu sehingga sering terjadi pergeseran penanaman, masa pemanenan yang tidak merata sepanjang tahun, serta sering timbulnya bencana yang tidak terduga (banjir, longsor, kekeringan, gempa)  memerlukan sistem pencadangan pangan yang baik. Saat ini belum optimalnya :(1) sistem cadangan pangan daerah untuk mengantisipasi kondisi darurat bencana alam  minimal 3 (tiga) bulan , (2) cadangan pangan hidup (pekarangan, lahan desa, lahan tidur, tanaman bawah tegakan perkebunan),  (3) kelembagaan lumbung pangan masyarakat dan lembaga cadangan pangan komunitas lainnya, (4) sistem cadangan pangan melalui Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan ataupun  lembaga usaha lainnya

2. Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan
a.        Pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Masyarakat yang  rendah dalam mengakses pangan ada pada golongan masyarakat miskin, yang diperkirakan sekitar 14.7 persen atau sekitar 34.9 juta pada tahun 2008. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sekitar 68 persen tinggal di pedesaan damana umumnya adala petani.
b.        Kelancaran distribusi dan akses pangan. Masalah yang dijumpai adalah  : (1) infrastruktur  distribusi, (2) sarana dan prasarana  pasca panen, (3) pemasaran dan distribusi antar  dan keluar daerah dan isolasi daerah, (4) sistem informasi pasar, (5) keterbatasan  Lembaga pemasaran daerah, (6) hambatan distribusi  karena pungutan resmi dan tidak resmi, (7) kasus penimbunan  komoditas pangan oleh spekulan, (8) adanya  penurunan akses pangan pangan karena terkena bencana
c.        Penjaminan Stabilitas Harga Pangan.  Isu ini stabilitas harga pangan penting karena : (1) masa panen  yan tidak merata  sepanjang bulan, sehigga harga tinggi pada masa panen  dan rendah pada waktu musim panen, (b) harga pangan dunia semakin tidak menentu,dan indonesa sangat rentang terhadap pengaruh pasar dunia. Disamping itu dengan adanya  stabilitas harga pangan akan  menguatkan posisi tawar petani dan menjamin akses pangan masyarakat

3. Peningkaan Kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi seimbang berbasis pada pangan lokal
a.        Konsumsi beras masih cukup tinggi yaitu sebesar 105,2  kg/kap/thn (Susenas 2005),  Walaupun Kualitas konsumsi terus meningkat dan pada tahun 2005 mencapai 79,1 dan 2007 mencapai 83.1, namun konsumsi pangan sumber protein, sumber lemak dan vitamin/mineral masih jauh dari harapan.  Konsumsi  pangan  dengan bahan baku terigu mengalami peningkatan yang sangat tajam  yakni sebesar sebesar 19,2 persen  untuk makanan mie  dan makan lain berbahan terigu 7.9 persen pada periode 1999-2004. Pada saat ini konsumsi pangan hewani penduduk Indonesia baru mencapai 6,6 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi ini lebih rendah dibanding Malaysia dan Filipina yang masing-masing mencapai 48 kg/kap/tahun dan 18 kg/kapita/tahun
b.        Faktor penyebab belum berkembangannya adalah : (1) belum berkembangnya teknologi tepat guna dan terjangkau mengenai pengolahan pangan berbasis tepung umbi-umbian lokal dan pengembangan aneka pangan lokal lainnya, (2) belum berkembangnya  bisnis pangan untuk peningkatan nilai tambah ekonomi melalui penguatan kerjasama pemerintah-masyarakat-dan swasta, (3) belum optimalnya  usaha perubahan perlaku diversifikasi konsumsi pangan dan gizi sejak usia dini melalui jalur pendidikan formal dan non formal, (4) rendahnya citra pangan lokal, (5) belum optomalnya Pengembangan program perbaikan gizi yang cost effective, diantaranya melalui peningkatan dan penguatan program fortifikasi pangan dan program suplementasi zat gizi mikro khususnya zat besi dan vitamin A

4. Peningkatan status gizi masyarakat
a.        Jumlah anak balita dengan status gizi buruk diperkirakan sebesar 8.81 persen (sekitar 5 juta jiwa) dan gizi  kurang  sebesar 19,0 persen dan beberapa masalah gizi lainnya seperti anemia gizi besi (AGB), gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) dan kurang vtamin A (KVA) masih terjadi (2005). Masalah kurang energi kronis (KEK)  adalah 16,7 persen pada 2003. Pada saat yang bersamaan pada kelompok usia produktif juga terdapat masalah kegemukan (IMT>25) dan obesitas (IMT>27).
b.        Peningkatan staus gizi harus dilakukan dengan dalam rangka  mengurangi jumlah penderita gizi kurang, termasuk kurang gizi mikro yang diprioritas pada kelompok penentu masa depan anak,  yaitu, ibu hamil dan calon ibu hamil/remaja putri, ibu nifas dan menyusui, bayi sampai usia dua tahun tanpa mengabaikan kelompok usia lainnya. Hal ini dapat ditempuh melalui : (1) komunikasi, informasi dan edukasi tentang gizi dan kesehatan , (2) penguatan kelembagaan pedesaan seperti Posyandu, PKK, dan Dasa Wisma; (3) peningkatan efektivitas fungsi koordinasi  lembaga-lembaga pemerintah dan swasta di pusat dan daerah, dibidang pangan dan gizi

5. Peningkatan mutu dan keamanan pangan
a.        Saat ini masih cukup banyak digunakan bahan tambahan pangan (penyedap, pewarna pemanis, pengawet, pengental, pemucat dan anti gumpal) yang beracun atau berbahaya bagi kesehatan.
b.        Masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian masyarakat konsumen maupun produsen (khususnya industri kecil dan menengah) terhadap keamanan pangan, yang ditandai merebaknya   kasus  keracunan  pangan baik  produk pangan segar  maupun olahan.
c.        Belum ada sangsi yang tegas terhadap pelanggaran peraturan keamanan pangan. Oleh karena itu usaha-usaha untuk pencegahan dan pengendalian  keamanan pangan harus dilakukan










KEBIJAKAN DAN STRATEGI
MENUJU INDONESIA TAHAN PANGAN DAN GIZI 2015

1.        Pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian
2.        Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan
3.        Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi seimbang
4.        Peningkatan status gizi masyarakat
5.        Peningkatan mutu dan keamanan pangan

1. Arah kebijakan Pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian
a.        Menjamin ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman untuk mendukung konsumsi pangan sesuai kaidah kesehatan dan gizi seimbang
b.        Mengembangkan dan memperkuat kemampuan dalam pemupukan dan pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat hingga di tingkat desa dan atau komunitas
c.        Meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional melalui penetapan lahan abadi untuk produksi pangan dalam rencana tata ruang wilayah dan meningkatkan kualitas lingkungan serta sumberdaya lahan dan air.

2. Arah kebijakan Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan
a.        Meningkatkan daya beli dan mengurangi jumlah penduduk yang miskin
b.        Meningkatkan efektivitas dan efisiensi distribusi dan perdagangan pangan melalui pengembangan sarana dan prasarana distribusi dan menghilangkan hambatan distribusi pangan antar daerah
c.        Mengembangkan teknologi dan kelembagaan pengolahan dan pemasaran pangan untuk menjaga kualitas produk pangan dan mendorong peningkatan nilai tambah
d.        Meningkatkan dan memperbaiki  infrastruktur dan kelembagaan ekonomi perdesaan dalam rangka mengembangkan skema distribusi pangan kepada kelompok masyarakat tertentu yang mengalami kerawanan pangan

3.  Arah kebijakan Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi seimbang
a.        Meningkatkan kemampuan rumahtangga dalam mengakses pangan untuk kebutuhan setiap anggota rumah tangga dalam jumlah dan mutu yang memadai, aman dan halal dikonsumsi dan bergizi seimbang
b.        Mendorong, mengembangkan dan membangun, serta memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pemenuhan pangan sebagai implementasi pemenuhan hak atas pangan;
c.        Mengembangkan program perbaikan gizi yang cost effective, diantaranya melalui peningkatan dan penguatan program fortifikasi pangan dan program suplementasi zat gizi mikro khususnya zat besi dan vitamin A
d.        Mengembangkan jaringan antar lembaga masyarakat untuk pemenuhan hak atas pangan dan gizi
e.        Meningkatkan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan bersubsidi kepada masyarakat golongan miskin terutama anak-anak dan ibu hamil yang bergizi kurang.

4.  Arah kebijakan Peningkatan status gizi masyarakat
a.        Mengutamakan upaya preventif, promotif dan pelayanan gizi dan kesehatan kepada masyarakat miskin dalam rangka  mengurangi jumlah penderita gizi kurang, termasuk kurang gizi mikro (kurang vitamin dan mineral)
b.        Memprioritaskan pada kelompok penentu masa depan anak,  yaitu, ibu hamil dan calon ibu hamil/remaja putri, ibu nifas dan menyusui, bayi sampai usia dua tahun tanpa mengabaikan kelompok usia lainnya
c.        Meningkatkan efektivitas fungsi koordinasi  lembaga-lembaga pemerintah dan swasta di pusat dan daerah, dibidang pangan dan gizi sehingga terjamin adanya keterpaduan kebijakan, program dan kegiatan antar sektor di pusat dan daeah, khususnya dengan sektor kesehatan, pertanian, industri, perdagangan,  pendidikan, agama, serta  pemerintahan daerah.

5. Arah kebijakan Peningkatan mutu dan keamanan pangan
a.        Meningkatkan pengawasan keamanan pangan
b.        Melengkapi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang mutu dan keamanan pangan
c.        Meningkatkan kesadaran produsen, importir, distributor dan ritel terhadap keamanan pangan
d.        Meningkatkan kesadaran konsumen terhadap keamanan pangan,
e.        Mengembangkan teknologi pengawet dan pewarna makanan yang aman dan tidak memenuhi syarat kesehatan serta terjangkau oleh usaha kecil dan menengah produsen makanan dan jajanan.

SASARAN
1.     Mempertahankan ketersediaan energi perkapita minimal 2.200 Kilokalori/hari, dan penyediaan protein perkapita minimal 57 gram/hari, terutama protein yang diiringi dengan menurunnya  ketergantungan impor pangan  maksimal  5 persen  pada tahun 2015  serta tersedianya cadangan pangan pemerintah  untuk kondisi darurat karena bencana alam dengan cadangan minimal 3 bulan  dan berkembangnya cadangan pangan masyarakat
2.     Stabilnya harga  komoditas pangan strategis  yang ditandai  rendahnya perbedaan harga antara musim panen  dan  non panen  dengan perbedaan maksimum 10 persen
3.     Turunnya jumlah penduduk miskin minimal  1 persen per tahun dan   berkurang 50 persennya  menjadi  8 persen pada tahun 2015.
4.     Meningkatkan keragaman konsumsi pangan perkapita untuk mencapai gizi seimbang dengan kecukupan energi minimal 2.000 kkal/hari dan protein sebesar 52 gram/hari dan cukup zat gizi mikro, serta meningkatkan keragaman konsumsi pangan dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) mendekati 100 pada tahun 2015
5.     Meningkatkan keamanan, mutu dan higiene pangan yang dikonsumsi masyarakat dengan menekan pelanggaran terhadap ketentuan keamanan pangan sampai 90 persen
6.     Prevalensi Kerawanan konsumsi pangan tingkat berat menurun hingga 1.5 persen pada tahun 2015;
7.     Gizi kurang bukan  masalah kesehatan masyarakat, dengan prevalensi gizi kurang setinggi-tingginya 19% pada tahun 2015
8.     Menguatnya kelembagaan ketahanan pangan dan gizi di pedesaan , khususnya PKK, Posyandu dan lembaga cadangan pangan komunitas
9.     Terimplementasikannya dengan baik Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi  pada setiap kabupaten/kota pada tahun 2015.

A.  Strategi Memantapkan Ketersediaan Pangan berbasis Kemandirian
1.        Peningkatan Kapasitas produksi domestik, melalui : (1) pengembangan produksi pangan sesuai dengan potensi daerah, (2) peningkatan produksi dan produktivitas komoditas  pangan dengan teknologi spesifik lokasi, (3) pengembangan dan menyediakan benih/bibit unggul dan jasa alsintan, (4) peningkatan   pelayanan dan pengawasan  pengadaan sarana produksi, (5) peningkatan layanan kredit yang mudah diakses petani
2.        Pelestarian  sumberdaya lahan dan air, melalui : (1) pengendalian  alih fungsi  lahan  pertanian ke non-pertanian untuk mewujudkan lahan abadi, (2) sertifikasi lahan petani, (3) konservasi dan  rehabilitasi sumberdaya lahan dan air  pada daerah aliran sungai (DAS), (4)  pengembangan sistem pertanian ramah lingkungan (agroforestry dan pertanian organik), (5) pemantapan kelompok pemakai air untuk peningkatan pemeliharaan saluran irigasi, (6) penataan penggunaan air untuk pertanian, pemukiman dan industri, (7) pengembangan sistem informasi bencana alam dalam rangka Early Warning System (EWS), (8)  rehabilitasi dan konservasi sumberdaya alam, (9) perbaikan dan peningkatan jaringan pengairan.
3.        Penguatan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat/komunitas,  melalui: (1) pengembangan sistem cadangan pangan daerah untuk mengantisipasi kondisi darurat bencana alam  minimal 3 (tiga) bulan , (2) pengembangan cadangan pangan hidup (pekarangan, lahan desa, lahan tidur, tanaman bawah tegakan perkebunan),  (3) menguatkan kelembagaan lumbung pangan masyarakat dan lembaga cadangan pangan komunitas lainnya, (4) pengembangan sistem cadangan pangan melalui Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan ataupun  lembaga usaha lainnya

B.    Strategi Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi seimbang berbasis pada pangan lokal
1.        Penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk peningkatan daya beli pangan beragam dan bergizi seimbang
2.        Peningkatan kelancaran distribusi dan akses pangan, melalui: (1) peningkatan kualitas  dan pengembangan infrastruktur  distribusi, (2) peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana  pasca panen, (3) pengembangan jaringan pemasaran dan distribusi antar  dan keluar daerah dan membuka daerah yang terisolir, (4) pengembangan sistem informasi pasar, (5) penguatan lembaga pemasaran daerah, (6) pengurangan  hambatan distribusi  karena pungutan resmi dan tidak resmi, (7) pencegahan kasus penimbunan  komoditas pangan oleh spekulan, (8) pemberian bantuan pangan pada kelompok masyarakat miskin  dan yang terkena bencana secara tepat sasaran, tepat waktu dan tepat produk;
3.        Penjaminan Stabilitas Harga Pangan, melalui : (1) pemberlakuan Harga Pembelian Pemerintah pada komoditas pangan strategis , (2) perlindungan harga domestik dari  pengaruh harga dunia  melalui  kebijakan tarif, kuota impor,  dan/ pajak ekspor, kuota ekspor pada komoditas pangan strategis, (3) pengembangan Buffer stock  Management  (pembelian oleh pemerintah  pada waktu panen dan operasi pasar pada waktu paceklik) pada komoditas pangan strategis, (4) pencegahan  impor dan/ ekspor illegal komoditas pangan, (5) peningkatan dana talangan pemerintah (propinsi dan kabupaten/kota) dalam  menstabilkan harga komoditas pangan strategis, (6) peningkatan  peranan  Lembaga pembeli gabah dan  Lembaga usaha ekonomi pedesaan, (7) pengembangan sistem tunda jual , (8) pengembangan sistem informasi dan monitoring  produksi, konsumsi, harga dan stok  minimal bulanan
4.        Peningkatan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan bersubsidi kepada masyarakat golongan miskin (misalnya Raskin) dan mengembangkan pangan bersubsidi bagi kelompok khusus yang membutuhkan terutama anak-anak dan ibu hamil yang bergizi kurang

C.    Strategi Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi seimbang berbasis pada pangan lokal
1.        Pengembangan dan percepatan diversifikasi konsumsi pangan berbasis pangan lokal melalui pengkajian berbagai teknologi tepat guna dan terjangkau mengenai pengolahan pangan berbasis tepungumbi-umbian lokal dan pengembangan aneka pangan lokal lainnya
2.        Pengembangan bisnis pangan untuk peningkatan nilai tambah ekonomi, gizi dan mutu ketersediaan pangan yang beragam dan bergizi seimbang melalui penguatan kerjasama pemerintah-masyarakat-dan swasta;
3.        Pengembangan materi dan cara ajar diversifikasi konsumsi pangan dan gizi sejak usia dini melalui jalur pendidikan formal dan non formal
4.        Penguatan pola konsumsi pangan lokal yang didaerah dan kelompok masyarakat  tertentu telah beragam;
5.        pengembangan aspek kuliner dan daya terima konsumen, melalui berbagai pendidikan gizi, penyuluhan, dan kampanye gizi untuk peningkatan citra pangan lokal,  serta peningkatan pendapatan dan pendidikan umum.
6.        Pengembangan program perbaikan gizi yang cost effective, diantaranya melalui peningkatan dan penguatan program fortifikasi pangan dan program suplementasi zat gizi mikro khususnya zat besi dan vitamin A;

D.    Strategi Peningkatan status gizi masyarakat, melalui
1.        Peningkatan pelayanan gizi dan kesehatan kepada masyarakat miskin yang terintegrasi dengan program penanggulangan kemiskinan dan keluarga berencana, dalam rangka  mengurangi jumlah penderita gizi kurang, termasuk kurang gizi mikro (kurang vitamin dan mineral) yang diprioritas pada kelompok penentu masa depan anak,  yaitu, ibu hamil dan calon ibu hamil/remaja putri, ibu nifas dan menyusui, bayi sampai usia dua tahun tanpa mengabaikan kelompok usia lainnya;
2.        Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi tentang gizi dan kesehatan guna mendorong terbentuknya keluarga dan masyarakat sadar gizi yang tahu dan berperilaku positif untuk mencegah gangguan kesehatan karena kelebihan gizi seperti kegemukan dan penyakit degeneratif lainnya
3.        Penguatan kelembagaan pedesaan seperti Posyandu, PKK, dan Dasa Wisma dalam promosi dan pemantauan tumbuh kembang anak dan penapisan serta tindak lanjut (rujukan) masalah gizi buruk;
4.        Peningkatan efektivitas fungsi koordinasi  lembaga-lembaga pemerintah dan swasta di pusat dan daerah, dibidang pangan dan gizi sehingga terjamin adanya keterpaduan kebijakan, program dan kegiatan antar sektor di pusat dan daeah, khususnya dengan sektor kesehatan, pertanian, industri, perdagangan,  pendidikan, agama, serta  pemerintahan daerah untuk promosi keluarga sadar gizi, pencegahan dan penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk secara dini dan terpadu.

F.     Strategi Peningkatan mutu dan keamanan pangan, melalui:
1.        Peningkatan pengetahuan dan kesadaran tentang keamanan pangan di tingkat rumahtangga, industri rumahtangga dan UKM serta importir, distributor dan ritel  serta pemahaman tentang implikasi hukum pelanggaran peraturan keamanan pangan yang berlaku;
2.        Penguatan pengawasan dan pembinaan keamanan pangan dengan melengkapi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang mutu dan keamanan pangan, law enforcement bagi  produsen, importir, distributor dan ritel yang melakukan pelanggaran terhadap keamanan pangan;
3.        Peningkatan kesadaran dan perlindungan konsumen terhadap keamanan pangan
Referensi:
directory.umm.ac.id/.../GAMBARAN%20UMUM%20PANGAN%20DU...
          ml.scribd.com/doc/211349117/Gambaran-Umum-Pangan-Dunia

Komentar

Postingan Populer