Tulisan 8 “ IBU "
Sewaktu masih kecil, aku sering merasa
dijadikan pembantu olehnya.Ia selalu
menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya
setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi
buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak
mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan,
aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain.
Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga
setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.
Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa
dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari
suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan
masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik
dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.
Saat pertama kali aku masuk sekolah di
Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan
sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di
seberang sana.
Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang
menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang
penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.
Kini, setelah aku besar, aku malah sering
meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku
menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat
tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena
tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering
merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno
jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja
mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku
sedang bersamanya.
Padahal menurut cerita orang, sejak aku
kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli
pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian
yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di
tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang
dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia
mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku
erat-erat saat aku menangis.
Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki
dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya.
Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang
bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi
yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan
segala tuntutan keperluan kampus lainnya.
Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu
yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah
melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan
orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya
jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi
aku yang sekarang.
Pada hari pernikahanku, ia menggandengku
menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah
menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh
lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung
menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga
yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia
ini.
Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah
tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat
ingin menjadi istri yang baik dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku
membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku
baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti
dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak
sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.
http://motivationplannet.wordpress.com/2009/05/21/ibu/
Komentar
Posting Komentar