Tulisan 9 “ Kesabaran Sang Ayah “
Bulan
Ramadhan telah tiba, dan mesjid pun mulai ramai lagi terutama oleh anak-anak.
Sebelum waktu Isya tiba, anak-anak itu telah datang ke mesjid untuk berebut
tempat shalat. Seperti kebiasaan, ketika menunggu shalat, mereka
berlari-larian, bercanda, dan bermain apa saja yang bisa mereka lakukan.
Sepertinya memang itulah yang mereka harapkan, ingin bermain-main, karena kapan
lagi mereka bisa bermain-main di mesjid bersama teman-teman sebanyak ini?
mereka bisa berlari sesuka mereka, dan biasanya orang-orang tua pun
jarang melarang anak-anak tersebut, dan kalaupun melarang hanya
sekedarnya saja, karena mereka pun maklum akan keramaian yang biasa terjadi
setahun sekali ini.
Di
hari pertama Ramadhan, ketika mendengar suara adzan berkumandang, aku pun
berangkat ke mesjid untuk menjalankan ibadah shalat isya dan salat Taraweh
berjamaah. Di mesjid, keadaan begitu ramai dan penuh. Maklum, hari-hari pertama
biasanya masih penuh, tapi biasanya minggu ke dua dan ketiga mulai jarang lagi,
dan minggu terakhir kadang ramai, atau bahkan lebih sepi lagi karena biasanya
orang-orang telah sibuk untuk mempersiapkan lebaran. Aku kaget juga ketika
sampai di Mesjid, ternyata tempat sudah penuh dan ada juga beberapa orang yang
menggelar tikar di samping mesjid untuk mengikuti shalat tarawih berjamaah.
Melalui jendela, aku berusaha mencari tempat di dalam yang kira-kira bisa untuk
satu orang lagi, tapi ternyata tidak ada lowongan, penuh.
Ketika
berusaha mencari tempat itu, ada tetanggaku yang mengusulkan untuk mengikuti
berjamaah dari luar saja, dengan menggelar tikar/koran. Aku setuju, lalu kami
mengambil koran dan sajadah dan jadilah kami solat di pinggir mesjid.
Di
hari berikutnya, aku berangkat lebih awal, dan aku bisa masuk ke dalam mesjid
walaupun penuh juga, tapi aku bisa lebih tenang dari pada malam kemarin ketika
di luar. Di dalam ini, aku mendapat shaf hampir paling belakang, yang di shaf
ini banyak anak kecilnya yang selalu ribut, membuat buyar konsentrasi ibadah.
Tapi mau bagaimana lagi, anak-anak itu susah diatur.
Di
sini ada hal yang menurutku sangat menarik, mungkin ini sudah biasa, tapi ini
menjadi luar biasa saat kupikirkan dan rasanya aku tidak akan bisa
melakukannya..
Di
sebelahku ada seorang ayah bersama anaknya yang masih kecil sedang melakukan
shalat tarawih berjamaah. Karena mereka tepat berada di sebelahku, maka mau
tidak mau aku melihat tingkah anak itu yang tak bisa diam sedikitpun. Dimulai
ketika ayah dan anak itu masuk mesjid, sampai berada di sebelahku, aku
perhatikan ayah dan anak itu, karena kuakui anak itu cakep juga, dan si
ayah pun terlihat berwibawa dan gagah. Tapi kuperhatikan pula bahwa si anak
begitu terlihat ‘sangat agresif’, tak sedetikpun ia diam dan mengikuti shalat
tarawih dengan baik, melainkan dia selalu saja berisik, berjalan, berlari, dan
kadang tertawa dengan temannya yang lain.
Tadinya
aku tidak memperdulikan tingkah anak itu, tapi lama-kelamaan, tingkahnya itu
menjengkelkan juga, bahkan sering juga lewat di depan ku, dan jika hendak
sujud, aku atau pun si ayah tadi harus menunggu si anak menyingkir terlebih
dahulu. Ketika rakaat shalat telah beres, si ayah mengingatkan anaknya agar
tidak jalan-jalan dan mengikuti shalat dengan baik, pertama si anak nurut, dan
meng-iya-kan, tapi kenyataannya tetap seperti biasa, jalan-jalan dan mengganggu
saja, sekali-sekali menaiki ayahnya yang sedang sujud atau rukuk, duduk di
pangkuan ayahnya ketika sedang duduk akhir, atau duduk di tempat sujud.
Aku
yang tidak diganggu secara langsung saja merasa jengkel terhadap anak itu,
ingin rasanya aku pindah tempat shalat, tapi semua tempat telah penuh. Akhirnya
mau tidak mau, aku harus mengikuti setiap kegiatan anak itu, yang jelas sekali
itu pun menggangguku.
Bukan
satu dua tiga kali si ayah tersebut mendapat beban dipunggungnya saat sujud,
atau saat rukuk. Tapi yang membuat menarik, si ayah tersebut begitu sabar
menghadapi anaknya itu. Dari raut mukanya tidak terlihat kebencian atau
kejengkelan terhadap anaknya bahkan ia tetap menasihati anaknya itu dengan
senyum dan dengan penuh kasih sayang, Subhanallah begitu hebatnya. Begitu
sabarnya orang tua itu menghadapi kenakalan anaknya. Kalau aku, mungkin sudah
marah-marah atau bahkan sudah kupukul anak itu.
Menjelang
witir, anak itu makin menjadi-jadi tingkahnya, tidur-tiduran di depan tempat
sujud ayahnya, lalu lari ke depan orang lain yang sedang solat, secara
berulang-ulang, dan akhirnya anak itu menangis karena terantuk alas solat dan
terjatuh. Melihat hal itu, si Ayah tadi langsung memangku anaknya kemudian
keluar mesjid, tanpa menyelesaikan witirnya. Mungkin kesabarannya hilang
setelah melihat si anak mengganggu orang lain.
Aku
tidak mengetahui kelanjutan nasib anak tadi, tapi yang pasti aku yakin bahwa
ayah tadi tidak akan memarahi anaknya, paling juga hanya menasihatinya saja.
Setelah
tarawih dan witir selesai, aku tidak langsung pulang, tapi tadarusan dulu di
mesjid. Di sela-sela tadarusan, aku sempat berfikir dan teringat juga tentang
kejadian tentang kesabaran ayah tadi, aku berfikir mungkin dulu pun aku seperti
itu, bahkan bisa dipastikan seperti itu. Aku merenung, betapa sabarnya
orang tua ku juga, mengajakku ke masjid, yang sebenarnya aku begitu merepotkan.
Tapi pasti orang tuaku (juga orang tua tadi berharap pada anaknya) berharap aku
akan terbiasa untuk shalat ke masjid, walaupun orang tuaku harus
bersusah terlebih dahulu.
Lama
sekali aku merenung, sampai tak terasa orang yang tadarusan sudah pada pulang
dan tinggal aku sendirian di masjid. Kutengok jam dinding, sudah jam 11.30
malam. Masih dengan mengingat kejadian tadi, samar-samar aku melihat si Ayah
tadi dengan anaknya sedang solat pada shaf paling depan, dan anehnya, anak yang
sejak tadi mengganggu shalat orang tuanya itu kini terlihat begitu baik,
mengikuti setiap gerak ayahnya. Aku jadi terharu melihat anak itu, masih kecil
tapi begitu baik dan menuruti orang tuanya. Kelak pasti anak itu akan menjadi
anak yang soleh. Tapi saat yang bersamaan, aku mendengar suara anak kecil di
shaf paling belakang. Aku sempat terhenyak, ketika samar-samar aku
melihat juga si Ayah tadi sedang shalat dengan anaknya, tapi terlihat berbeda
dengan yang shalat di depan, anak si Ayah ini terlihat berlari-lari
mengelilingi ayahnya yang sedang shalat, sesekali anak itu menaiki punggung
ayahnya jika sedang sujud.
Aku
terhenyak saat tersadar bahwa aku tidak melihat siapa-siapa baik di depan
maupun di shaf belakang. Aku segera keluar dari mesjid untuk pulang, aku
tidak mau lama-lama melihat bayangan-bayangan tadi.
Sebenarnya
aku masih saja berpikir tentang anak tadi, apakah aku dulu seperti itu? wah
merepotkan sekali aku pada orang tuaku. Aku jadi teringat pada ayahku yang
telah tiada, yang dulu telah banyak aku susahkan. Ayah, semoga kau dapat
melihatku yang baru pulang dari mesjid ini. Aku ke mesjid ini juga adalah hasil
kerja kerasmu mendidikku, bersabar dengan segala kenakalanku, dan dengan kasih
sayang mengajarkan pentingnya untuk memakmurkan mesjid. Ayah, aku janji, setiap
langkahku ke mesjid ini, kau pun akan menuai pahala darinya. Amin.
Sumber :
http://ridwan030.blogspot.com/2014/03/edisi-cerpen-kesabaran-sang-ayah.html
Komentar
Posting Komentar